MAKNA KULLU BID'ATIN DHOLALAH

0 comments

Oleh : Ust. Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc

Menurut penafsiran/terjemahan mereka (ahlul Bid’ah), Kullu itu bukan berarti semuanya/setiap.

Tapi kullu mereka terjemahkan = sebagian/sebagian besar. Jadi…

KULLU DHOLAALATIN FIN NAAR = sebagian besar dholalah ke neraka.
Berarti ada sebagian kecil dholalah yang masuk surga….
bener kan?….

Kalau gitu kita minta kepada mereka untuk kasih contoh dong amalan dholalah yang bisa bikin masuk surga?
Allahul musta’an.


Sebagian Ahlul bid’ah kadang berhujjah dengan mengatakan bahwa lafazh ‘kullu bid’atin dholalah’ (semua bid’ah itu sesat) dalam hadits yang masyhur itu tidak benar-benar berarti ‘semua’ tanpa kecuali. Mereka mengqiyaskannya dengan nash-nash lain yang juga mengandung lafazh ‘kullu’ namun artinya tidak ‘semua’. Seperti ayat berikut:

 “Angin yang menghancurkan segala sesuatu karena perintah Rabbnya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa” (Al Ahqaf: 25).

Mereka mengatakan: “Lihatlah bagaimana Allah mengatakan bahwa angin tersebut menghancurkan ‘segala sesuatu’ padahal tidak semuanya hancur, buktinya rumah mereka masih tersisa, demikian pula bumi, langit, dan sebagainya. Ini berarti bahwa kata ‘kullu’ dalam bahasa Arab tidak selamanya berarti ‘semua’ tanpa kecuali. Namun dalam sabda beliau tersebut tersisipkan sebuah kalimat yang tidak terucap, –yang menurut mereka– bunyinya ialah: “yang bertentangan dengan syari’at”. Jadi konteks sabda Nabi selengkapnya berbunyi: “Semua bid’ah –yang bertentangan dengan syari’at– adalah sesat”. Nah, mafhum-nya berarti bahwa bid’ah yang tidak bertentangan dengan syari’at tidaklah sesat…” [1]).

Kaidah untuk memahami masalah ini

Memang benar, bahwa kata-kata yang bernada umum dalam bahasa Arab[2]) tidak harus diartikan umum tanpa kecuali. Dengan memperhatikan konteks kalimat, realita, penalaran, dan nash-nash lainnya, seseorang bisa menyimpulkan apakah keumuman suatu ungkapan dalam bahasa Arab tadi masih berlaku mutlak, ataukah tidak.

Dalam ilmu ushul fiqih ada yang istilahnya ‘aammun uriida bihil ‘umuum (ungkapan umum yang maksudnya memang umum), ada pula ‘aammun makhshuush (ungkapan umum yang mengandung pengkhususan/pengecualian), bahkan ada yang ‘aammun uriida bihil khushuush (ungkapan umum yang maksudnya khusus).

Contoh untuk yang pertama (aammun uriida bihil ‘umuum) ialah ayat-ayat berikut:

 “Allah lah yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia lah yang memelihara segala sesuatu” (Az Zumar: 62).

 “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya…” (Hud: 6).

Imam Asy Syafi’i menjelaskan bahwa kesemuanya ini merupakan jenis ungkapan umum yang berlaku mutlak tanpa pengecualian[3]). Demikian pula ketika Allah Ta’ala mengatakan bahwa Dia mengetahui segala sesuatu (QS. Al Baqarah :29, 231, 282, dan lain-lain). Jelas keumuman ungkapan ini tidak boleh ditafsirkan dengan penafsiran lain karena tidak ada petunjuk atau qarinah yang mengarah ke penafsiran lainnya.

Berbeda dengan ketika Allah Ta’ala bercerita tentang angin topan yang membinasakan kaum ‘Aad;

 “Angin yang menghancurkan segala sesuatu karena perintah Rabbnya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa” (Al Ahqaf: 25).

Dalam ayat ini jelas bahwa ungkapan ‘segala sesuatu’ tidak berlaku umum, namun banyak yang dikecualikan. Hal ini selain tersirat dalam kelanjutan ayat ini sendiri, juga bisa kita fahami dari realita. Angin topan yang dikatakan menghancurkan segalanya tadi ternyata tidak menghancurkan langit, bumi, gunung-gunung, dan sebagainya. Ia hanya menghancurkan kaum ‘Aad saja, bahkan masih menyisakan tempat tinggal mereka.

Namun ada kalanya Al Qur’an menggunakan ungkapan umum sedang yang dimaksud hanyalah seorang. Seperti pada ayat berikut;

 “(Yaitu) orang-orang (yang menta’ati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan:”Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung” (Aali ‘Imran: 173).

Dalam tafsirnya, Imam Ath Thabary -rahimahullah- menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kata (النَّاسُ) atau ‘orang-orang yang mengatakan’ di sini hanyalah satu orang, yaitu: Nu’aim bin Mas’ud, sebagaimana yang disebutkan oleh berbagai riwayat dalam kitab-kitab sirah [4]).

Kesimpulannya, untuk menentukan apakah sebuah ungkapan yang bernada umum itu masih berlaku mutlak ataukah tidak, kita harus memperhatikan berbagai qarinah (petunjuk) yang ada, baik dari konteks kalimat itu sendiri, maupun dari dalil-dalil lain yang shahih, atau dengan realita yang ada; bukan sekedar akal-akalan dan ‘menurut hemat saya’.

Kami khawatir, dengan akal-akalan semacam ini, kelak ada yang mengatakan bahwa sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut akan disimpangkan pula maknanya:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ  كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ. رواه مسلم

Dari Ibnu Umar katanya; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Semua yang memabukkan adalah khamer, dan semua yang memabukkan itu haram” (H.R. Muslim no 2003).

Bila Novel Alaydrus mengartikan sabda Nabi: wa kullu bid’atin dholalah, dengan arti: semua bid’ah –yang bertentangan dengan syari’at– adalah sesat. Maka konsekuensinya dia juga harus mengartikan hadits di atas dengan cara yang sama… lantas bagaimana kira-kira dia akan mengartikannya?

Memahami muthlaq & muqayyad

Perlu kita ketahui, bahwa dalam bahasa Arab, ada yang namanya muthlaq (mutlak/tidak terbatasi) dan muqayyad (terbatasi). Misalnya ialah kalau seseorang mengatakan: “Hormatilah manusia”. Ketika mendengar kata-kata ini, yang segera kita tangkap ialah bahwa kita diperintah untuk menghormati siapa saja yang masuk dalam kategori ‘manusia’, dan inilah yang disebut muthlaq.

Namun jika kata ‘manusia’ tadi diberi sifat tertentu, seperti ‘yang beriman’ misalnya; maka keumuman perintah tadi jadi terbatasi, sesuai dengan sifat yang dimilikinya. Sehingga dengan mengatakan: “Hormatilah manusia yang beriman”, tidak setiap manusia boleh dihormati, akan tetapi hanya yang beriman saja yang boleh dihormati. Inilah yang disebut muqayyad (terbatasi).

Ringkasnya, sifat yang dilekatkan pada sesuatu terkadang berfungsi sebagai pembatas hakekat sesuatu tadi. Inilah salah satu fungsi dari qaid (pembatas makna) yang dalam hal ini berupa kata sifat.

Kendatipun demikian, tidak semua kata sifat bermakna seperti itu, bahkan dalam beberapa konteks kalimat ia bermakna lain. Perhatikanlah firman-firman Allah U berikut:

Pertama:

Dan barangsiapa menyembah ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhgnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung”. (Al Mu’minun: 117). Kita tidak dapat menyimpulkan bahwa jika seseorang memiliki dalil akan keberadaan ilah selain Allah maka ia boleh menyembah selain Allah.

Kedua:

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (Aali ‘Imran: 130). Bolehkah seseorang menyimpulkan dari kata: “dengan berlipat ganda”, bahwa jika riba yang dipungutnya tidak berlipat ganda maka halal baginya?

Sebagaimana yang kita ketahui, yang dimaksud berlipat ganda adalah lebih dari 100 %. Berangkat dari sini, kalaulah boleh seseorang berdalil dengan mafhum (makna tersirat) dari ayat di atas, maka boleh baginya memakan riba yang kurang dari 100 %. Boleh baginya meminjami uang Rp. 1 juta kemudian meminta pelunasan sebesar Rp. 2 juta umpamanya. Ataukah maksudnya sekedar pengkhabaran akan bentuk riba di zaman jahiliyah yang pada umumnya berlipat ganda…? Karenanya ayat ini pun turun dengan bahasa yang sesuai dengan kondisi saat itu tanpa bermaksud membolehkan riba yang tidak berlipat ganda. Bagaimana menurut saudara?

Ketiga:

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (segala sesuatu yang mendahului hubungan suami istri), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji… (Al Baqarah: 197).

Bolehkah seseorang menyimpulkan dari kata: “selama mengerjakan haji”, bahwa perbuatan fasik hanya dilarang ketika musim haji saja, sedang diluar itu boleh berbuat fasik…? Ataukah ayat ini seperti ayat sebelumnya yang sekedar menggambarkan kondisi musilm haji, yang memang potensial untuk mendorong seseorang berbuat fasik. Yaitu ketika berjuta orang berdesakan di Arafah, atau ketika melontar jumrah, thawaf, sa’i, dan manasik haji lainnya; hingga manusia cenderung untuk berkata kasar kepada sesama muslim, atau main sikut, dan lain sebagainya; sehingga tidak bisa difahami bahwa perbuatan fasik tadi boleh dilakukan di luar musim haji… Yang mana kira-kira?

Keempat:

 “…Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran jika mereka menginginkan kesucian, demi mencari keuntungan duniawi… (An Nur: 33).

Bolehkah kita menyimpulkan dari kata: “jika mereka menginginkan kesucian”, bahwa jika para budak wanita tadi tidak menginginkan kesucian, maka kita boleh memaksanya melacur dan memakan uang hasil pelacuran tadi…?? Ataukah ayat ini seperti pendahulunya yang sekedar memberi gambaran akan praktek mucikari di zaman jahiliyah; yang pada umumnya dengan memaksa budak-budak wanita untuk melacur, padahal budak-budak itu ingin jadi wanita terhormat… Jelas bukan?

Syubhat Ahlul bid’ah dalam masalah ini

Sebagian ahlul bid’ah ada yang berdalil dengan hadits berikut karena tidak faham akan kaidah di atas;

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ، وفي لفظ: مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

(رواه مسلم)

“Barangsiapa mengada-adakan dalam agama kami, yang bukan berasal darinya (agama); maka ia tertolak”. Dalam lafazh lainnya disebutkan: “Barangsiapa mengamalkan sesuatu dalam agama kami, yang bukan berasal darinya; maka amalan tersebut tertolak”.[5])

Mereka mengatakan: Penambahan kalimat ‘yang bukan darinya’ (agama), merupakan bukti bahwa tidak semua yang baru berarti tertolak dan sesat. Hanya yang baru yang tidak bersumber dari agama sajalah yang tertolak dan sesat. Andaikata semua hal baru adalah sesat, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan menambahkan kalimat tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan langsung berkata, “Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam agama kami ini, maka ia tertolak”, tetapi hal ini tidak beliau lakukan.

Kesimpulannya, selama hal baru tersebut bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, maka ia dapat diterima oleh agama, diterima oleh Allah, dan diterima oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam [6]).

Pembaca yang budiman, mungkin setelah anda membaca uraian di atas anda akan berubah fikiran… atau setuju akan adanya bid’ah yang tidak sesat dalam agama. Tapi jangan tergesa-gesa, syubhat di atas tak lebih dari sekedar permainan bahasa saja; yang mungkin karena kelihaian penulisnya dalam bermain kata, akan tersamarkan bagi orang awam. Namun hal ini tak akan mengelabui orang yang faham akan gaya bahasa Arab; yang notabene adalah bahasa Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bantahan terhadap syubhat ini:

Pertama: Marilah kita ingat kembali definisi bid’ah yang disebutkan oleh Al Jurjani pada pembahasan sebelumnya (hal 35). Beliau mengatakan:

Bid’ah ialah perbuatan yang menyelisihi As Sunnah (ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dinamakan bid’ah karena pelakunya mengada-adakannya tanpa berlandaskan pendapat seorang Imam. Bid’ah juga berarti perkara baru yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in, dan tidak merupakan sesuatu yang selaras dengan dalil syar’i [7]).

Dari definisi di atas, dapat kita fahami bahwa yang namanya bid’ah itu harus menyelisihi ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak selaras dengan dalil syar’i (Al Qur’an dan Sunnah). Berangkat dari sini, perkataan bahwa jika sesuatu yang baru (bid’ah) itu bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, maka ia dapat diterima oleh agama, diterima oleh Allah, dan diterima oleh Rasul-Nya, adalah kesalahan fatal yang ujung-ujungnya menyamakan antara bid’ah dengan syari’at itu sendiri –sebab menurutnya keduanya berasal dari Al Qur’an dan hadits–, dan ini jelas batil.

Kedua: kata-kata ‘yang bukan berasal darinya (agama)’ dalam hadits di atas bukanlah sifat yang membatasi, akan tetapi sifat yang menyingkap bahwa semua bid’ah hakikatnya bukanlah berasal dari agama. Karena bila sesuatu itu berasal dari Al Qur’an dan Hadits maka hal tersbut telah ada sejak adanya Islam itu sendiri, dan bukan dianggap baru. Jelas sekali bahwa perkataan ini mengandung kontradiksi yang tidak mungkin diucapkan oleh orang yang berakal, apalagi seorang Rasul yang paling fasih berbahasa Arab dan menerima wahyu dari Allah Ta’ala.

Memahami Mafhum Mu’tabar dan Mafhum Ghairu Mu’tabar

Ketahuilah wahai saudaraku seiman, untuk memahami Al Qur’an tak cukup dengan akal-akalan dan main qiyas semata; “kalau begini berarti begitu… kalau tidak begini berarti tidak begitu…”. Coba bayangkan bagaimana jadinya kalau analogi seperti ini kita terapkan ketika memahami nash-nash Al Qur’an dan Sunnah, kemudian dengan ilmu yang serba terbatas kita simpulkan seperti di atas? Jelas akan sesat dan menyesatkan… sebagaimana firman Allah Ta’ala:

 “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Rabb mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini sebagai perumpamaan?” Dengan perumpamaan ini banyak orang yang dibiarkan sesat oleh Allah, dan dengannya pula banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang yang fasik” (Al Baqarah: 26).

Nah, agar tidak dibiarkan sesat oleh Allah, kita harus mengindahkan kaidah-kaidah penafsiran dan jangan sekedar akal-akalan dalam menafsirkan Al Qur’an maupun Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Alhamdulillah, para ulama telah meletakkan beberapa kaidah dalam menentukan maksud suatu ayat atau hadits secara umum. Kaidah tersebut diantaranya berbunyi:

اَلْوَصْفُ إِذَا خَرَجَ مَخْرَجَ الْغَالِبَ, فَلَيْسَ لَهُ مَفْهُوْمٌ مُعْتَبَرٌ.

Setiap sifat yang disebutkan dalam konteks pada umumnya, maka mafhum-nya tidak berlaku.[8])

Maksudnya, jika sifat itu menunjukkan kondisi sesuatu pada umumnya, maka tidak boleh bagi kita menarik suatu kesimpulan yang berlawanan –alias mafhum– darinya, karena mafhum tersebut hukumnya tidak berlaku menurut ijma’ ulama. Seperti ketika Allah melarang untuk memakan riba yang berlipat ganda; mafhumnya ialah yang tidak berlipat ganda boleh dimakan. Nah mafhum seperti ini hukumnya tidak berlaku, karena ayat ini berbicara tentang konteks riba zaman jahiliyah, yang pada umumnya berlipat ganda.

Standar untuk mengetahui hal ini ialah apabila kata sifat yang dijadikan penjelas tadi sering kali kita jumpai dalam masalah yang digambarkan. Jika sifat tersebut senantiasa melekat padanya, atau kita jumpai pada sebagian besar kondisinya, maka mafhumnya tidak berlaku dan tidak menjadi hujjah menurut ijma’ ulama. Namun jika tidak demikian, maka mafhumnya berlaku menurut sebagian ulama yang berhujjah dengan mafhum.[9])

Karenanya, ketika Allah Ta’ala atau Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati sesuatu dengan sifat atau keadaan tertentu, kita tidak boleh serta merta menarik kesimpulan terbalik dari lafazh aslinya. Karena terkadang sifat itu bukan bertindak sebagai pembatas makna (sifatun muqayyidah), namun sebagai penyingkap akan hakekat sesuatu tadi (sifatun kaasyifah). Untuk lebih jelasnya silakan saudara merenungkan ulang penjelasan ayat-ayat pada bab sebelumnya, kemudian perhatikan contoh lain berikut:

 “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (An Nisa: 17).

Kata-kata (بجهالة) dalam ayat ini adalah contoh bagi sifatun kaasyifah. Maksudnya sebagai kata sifat/keadaan yang menyingkap hakekat mereka yang berbuat jahat; yaitu bahwa setiap orang yang berbuat jahat adalah orang jahil, karena kejahilanlah yang mendorongnya untuk berbuat jahat.

Jadi, kata ‘lantaran kejahilan’ tadi bukan sebagai sifatun muqayyidah (kata sifat/keadaan yang membatasi). Karena jika tidak demikian, maka maksud ayat di atas ialah bahwa taubat itu khusus bagi orang jahil yang bermaksiat saja, sedangkan orang alim yang bermaksiat tidak perlu bertaubat… padahal orang sekaliber Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja setiap hari beristighfar tak kurang dari 70 kali…[10])

Dari sini dapat kita fahami, bahwa apa yang dijadikan dalil oleh ahlul bid’ah dalam membenarkan adanya bid’ah yang tidak sesat, atau bid’ah yang dapat diterima oleh Allah dan Rasul-Nya adalah suatu kekeliruan fatal!!

Syubhat lain yang dapat kita bantah melalui kaidah di atas ialah sebagai berikut:

إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنْ الأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لاَ تُرْضِي اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا (رواه الترمذي وقَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ)

“Ketahuilah, barangsiapa menghidupkan salah satu sunnahku yang telah mati sepeninggalku, maka baginya pahala seperti pahala orang yang ikut mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa melakukan bid’ah dholalah yang tidak mendapatkan ridha Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan memikul dosa orang-orang yang mengamalkan bid’ah itu, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. (H.R. Tirmidzi, dan beliau menghasankannya).

Hadits ini dijadikan dalil (baca: syubhat) oleh sebagian orang bahwa tidak semua bid’ah itu sesat. Andaikata semua bid’ah itu sesat, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan langsung berkata: “Barangsiapa mengadakan sebuah bid’ah” tanpa harus menambahkan kata ‘dholalah’ dalam sabdanya tersebut. Dengan menyebut bid’ah dholalah (yang sesat), maka logikanya ada bid’ah yang tidak dholalah (tidak sesat) [11]).

Bantahan terhadap syubhat ini:

Al ‘Allaamah Al Muhaddits Abdurrahman Al Mubarakfury dalam penjelasannya terhadap hadits di atas mengatakan sebagai berikut (mengutip ucapan Shiddiq Hasan Khan):

“Penulis kitab Mirqaatul Mafaatieh  mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi bid’ah disini dengan bid’ah yang dholalah untuk mengecualikan bid’ah hasanah”. Pendapat senada juga diungkapkan oleh penulis kitab Asyi’atul Lama’aat dengan menambahkan: “Karena bid’ah hasanah mengandung kemaslahatan bagi agama, sekaligus menguatkan dan melariskannya (di masyarakat)”. Saya katakan [12]): “Kedua pendapat tersebut salah besar! Karena Allah dan Rasul-Nya tak pernah meridhai bid’ah, apa pun bentuknya. Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak mengecualikan bid’ah hasanah, niscaya beliau tak akan menjelaskan dalam haditsnya bahwa: “Semua bid’ah itu sesat…” atau: “Semua hal yang baru itu bid’ah, dan semua yang sesat itu di neraka…” sebagaimana yang tersebut dalam salah satu riwayat. Ucapan beliau tadi pada dasarnya bukanlah qaid (pembatas) akan bid’ah. Namun merupakan bentuk pengkabaran beliau dalam mengingkari segala macam bid’ah, dan menjelaskan bahwa semua bid’ah adalah tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalil yang menguatkan pendapat ini ialah firman Allah: { وَرَهْبَانِيَّةً اِبْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ } yang maknanya: “…Dan mereka mengada-adakan bid’ah rahbaniyyah (kependetaan) padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka…” [13] (Al Hadid: 27).

Adapun prasangka bahwa bid’ah itu ada kemaslahatannya bagi agama, sekaligus menguatkan dan melariskannya; bantahannya ialah firman Allah Ta’ala :{ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ }  yang artinya: “Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa” (Al Hujurat: 12). Saya tak habis pikir, apa makna ayat: “Sesungguhnya sebagian dari prasangka  itu dosa”, dan ayat: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan bagimu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu” (Al Ma’idah: 3), kalaulah maslahat yang dimaksud ialah melariskan bid’ah..!? Ya Allah, alangkah anehnya pendapat semacam ini… adakah mereka tidak tahu bahwa dengan menyemarakkan bid’ah berarti mematikan sunnah? Dan dengan mematikan bid’ah berarti menghidupkan sunnah?? Sungguh demi Allah, agama Islam itu lengkap, sempurna, dan tak kurang sedikit pun. Ia tak butuh sedikit pun terhadap bid’ah sebagai pelengkap. Nash-nash (dalil-dalil) yang dikandungnya cukup banyak dan meliputi setiap perkara atau problematika baru yang akan muncul hingga hari kiamat”. Demikian sanggahan beliau dalam kitabnya Ad-Dienul Khalish secara ringkas.

Saya katakan [14]): “Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi (بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ) diriwayatkan dengan idhafah –yaitu dibaca: bid’ata dhalalatin–, atau bisa juga dengan manshub (بِدْعَةً ضَلاَلَةً) –dibaca: bid’atan dhalalatan– sebagai sifah wa mausuf. Jadi, ‘dholalah’ merupakan sifat bagi bid’ah tersebut. Sedangkan kata sifat ini termasuk sifatun kaasyifah (sifat yang menyingkap hakekat sesuatu); bukan sifatun muqayyidah yang mengecualikan bid’ah hasanah (dari bid’ah yang menyesatkan). Dalilnya ialah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya yang berbunyi: (كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ) “Semua bid’ah itu sesat” (H.R. Abu Dawud, dari ‘Irbadh bin Sariyah).

Adapun sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi (لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُولَهُ) “Tidak mendapatkan ridha Allah dan Rasul-Nya”, merupakan sifatun kaasyifah yang kedua bagi bid’ah tadi [15]).

Lebih dari itu, hadits ini masih diperselisihkan keshahihannya. Meski At Tirmidzi menganggapnya hasan –dan beliau memang terkenal gampang menghasankan hadits,– namun salah satu perawi hadits ini ialah Katsier bin Abdillah bin Amru bin ‘Auf Al Muzani. Berikut ini kami nukilkan sanad hadits diatas selengkapnya; Imam At Tirmidzi -rahimahullah- berkata:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مَرْوَانَ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْفَزَارِيِّ عَنْ كَثِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ هُوَ ابْنُ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالِ بْنِ الْحَارِثِ … الحديث (جامع الترمذي, كتاب العلم, باب: ما جاء في الأخذ بالسنة واجتناب البدع, حديث رقم 2601).

Abdullah bin Abdirrahman mengabarkan kepada kami, katanya: Muhammad bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami, dari Mirwan bin Mu’awiyah Al Fazary, dari Katsir bin ‘Abdillah –yaitu: bin ‘Amru bin ‘Auf Al Muzany–, dari Ayahnya, dari Kakeknya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilal ibnul Harits:…. Al hadits” (H.R. Tirmidzi, no 2601).

Cacat hadits ini ialah pada silsilah rawi yang bercetak tebal di atas. Untuk lebih jelasnya, kami akan menukilkan komentar para ahli hadits mengenai riwayat mereka:

1. Al Imam Ibnu Hibban -rahimahullah- mengatakan:

كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف المزني: يروي عن أبيه عن جده، روى عنه مروان بن معاوية وإسماعيل بن أبى أويس، منكر الحديث جدا، يروي عن أبيه عن جده نسخة موضوعة لا يحل ذكرها في الكتب ولا الرواية عنه (كتاب المجروحين 2/221).

Katsir bin Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf Al Muzany; Ia meriwayatkan dari Ayahnya dari kakeknya. Sedang yang meriwayatkan dari Katsir ialah Marwan bin Mu’awiyah dan Isma’il bin Abi Uwais. (Katsir ini) munkarul hadits jiddan [16]). Ia meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya sekumpulan hadits maudhu’ (palsu) yang tidak halal untuk disebutkan dalam kitab-kitab dan tidak halal untuk diriwayatkan. (Kitabul Majruhien 2/221)

2. Imam An Nasa’i -rahimahullah- berkata:

كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف: متروك الحديث (الكامل لابن عدي  6 /  58).

Katsir bin Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf; matruukul hadits 1) (Al Kamil, oleh Ibnu ‘Adiy 6/58).

3. Imam Syafi’i & Abu Dawud -rahimahumallah- menyifatinya dengan kata-kata:

ركن من أركان الكذب (ميزان الاعتدال 3 / 407)

Salah satu tiang daripada tiang-tiang kedustaan (Mizanul I’tidal, 3/407).[17]

4. Ibnu Hajar Al ‘Asqalany -rahimahullah- berkata:

كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف المزني المدني ضعيف أفرط من نسبه إلى الكذب (تقريب التهذيب -  2 /  39)

Katsir bin Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf Al Muzany Al Madany: dha’if, namun orang yang menuduhnya sebagai pendusta agak berlebihan (Taqribut Tahdzieb, 2/39).

Kesimpulannya, hadits di atas derajatnya dha’if jiddan atau minimal dha’if, sehingga tidak bisa dijadikan landasan dalam berdalil. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan At Tirmdzi, hadits no 2677.

-bersambung insya Allah-

Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc

Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah

Artikel www.muslim.or.id

[1]) Syubhat ini bukanlah hasil rekayasa kami, akan tetapi benar-benar ada dalam salah satu buku yang mereka tulis. Namun demi kemaslahatan yang lebih besar, kami sengaja tak ingin mempopulerkannya kepada para pembaca agar tidak menimbulkan fitnah, wallaahul musta’aan.

[2])   Seperti (كُلُّ), isim maushul (الَّذِي/الَّذِيْنَ), isim jins (الإنسان, الجن, الحجر, الحيوان…), dan sejenisnya.

[3]) Lihat Ar Risalah, hal 53-54 karya Al Imam Asy Syafi’i. Tahqiq Al ‘Allaamah Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Al Maktabatul ‘Ilmiyyah, Beirut-Libanon.

[4])  Lihat: Jaami’ul Bayaan fi Ta’wiilil Qur’an, 4/191 tahqiq: Syaikh Ahmad Syakir, cet. Muassasah Ar Risalah, Beirut.

[5])  H.R. Muslim dalam Shahihnya, hadits no 1718, dari Aisyah y.

[6]) Seperti pendahulunya, syubhat ini penulis nukil dari buku Mana Dalilnya 1, hal 20-24.

[7])     At Ta’riefaat 1/13. Oleh Al Jurjani.

[8]) Lihat Anwarul Buruq fi Anwa’il Furuq, al farqu 62 oleh Al Qarafy; I’lamul Muwaqqi’ien Kitabu ‘Umar fil Qadha’, fasal: Hukmu Aliyyin fi Jama’atin waqa’u fi imraatin, oleh Ibnul Qayyim; Syarh Al Kaukabul Munir, bab: At Takhsis, fasal ke 3.

[9])  Lihat: Anwarul Buruq fi Anwa’il Furuq, al farqu 62, oleh  Al Qarafy.

[10]) H.R. Bukhari no 6307 dan At Tirmidzi no 3182, dari Abu Hurairah t; dan Ibnu Majah no 3807 dari Abu Musa Al Asy’ari.

[11])  Mana Dalilnya 1, hal 22.

[12])  Yang berkata disini adalah Asy Syaikh Shiddiq Hasan Khan, rahimahullah.

[13])  Lihat, bagaimana Allah menyifati bid’ah kependetaan tadi dengan kata-kata: ‘padahal kami tidak mewajibkannya atas mereka’. Maknanya cukup jelas, bahwa bid’ah mereka adalah sama sekali tidak Allah perintahkan, karena jika Allah perintahkan tidak akan menjadi bid’ah.

[14])  Yang berkata di sini ialah Abdurrahman Al Mubarakfury, rahimahullah.

[15])   Lihat: Tuhfatul Ahwadzi Bisyarh Jaami’ At Tirmidzi karya Al Mubarakfury, syarah hadits no 2601.

[16]-1) Keduanya merupakan jarhun syadied (kritikan pedas), yang menjatuhkan hadits orang itu ke tingkat dha’if jiddan (lemah sekali) bahkan maudhu’ (palsu).

[17])  Maksudnya ia salah seorang pembohong besar.

Sumber: http://abuyahya8211.wordpress.com/
Selanjutnya

Terkabulnya Do’a ‘Abdulloh bin Jahsy dan Sa’ad bin Abi Waqqosh

0 comments


Perang Uhud tiba, ‘Abdulloh bin Jahsy dan kawannya Sa’ad bin Abi Waqqosh dalam perang ini mempunyai cerita yang tidak terlupakan. Biarkan kesempatan ini kita berikan kepada Sa’ad, biar beliau sendiri yang menyampaikan ceritanya dan cerita kawannya.

Sa’ad bin Abi Waqqosh berkata, “Di perang Uhud, aku bertemu dengan ‘Abdulloh bin Jahsy, dia berkata, “Berdo’alah kepada Alloh.” Aku menjawab, “Ya.” Lalu kami menepi di suatu tempat, aku berdo’a kepada Alloh, aku berkata dalam do’aku, “Yaa Robbi, jika aku bertemu musuh maka pertemukan aku dengan seorang laki-laki yang kuat lagi berani, aku akan melawannya dan dia akan melawanku, kemudian limpahkan kemenangan kepadaku sehingga aku bisa membunuhnya dan mengambil hartanya.” ‘Abduloh bin Jahsy mengamini do’aku. Lalu dia sendiri berkata, “Yaa Alloh, pertemukan aku dengan seorang laki-laki yang kuat lagi berani, aku akan melawannya demi Engkau dan dia melawanku, kemudian dia menangkapku, memotong hidungku dan telingaku, jika aku bertemu denganMu esok, maka Engkau akan bertanya kepadaku, “Kenapa hidung dan telingamu terpotong?” Maka aku menjawab, “Karena Engkau dan RosulMu.” Engkau berkata, “Kamu benar.”

Sa’ad bin Abi Waqqosh berkata, “Do’a ‘Abdulloh bin Jahsy lebih baik dari do’aku, aku melihatnya di sore hari dalam keadaan sudah syahid dalam keadaan dicincang-cincang, hidung dan telinganya tergantung dengan sebuah tali di sebuah pohon.”

Alloh ta’ala menjawab do’a ‘Abdulloh bin Jahsy, Dia memuliakannya dengan syahadah seperti Dia telah memuliakan pamannya sayyid para syuhada’ Hamzah bin ‘Abdul Muththolib dengannya.

Lalu Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wasallam menguburkan keduanya dalam satu liang lahad sementara air mata beliau yang suci menitik ke tanah kubur mereka berdua yang beraromakan bau harum syahadah.

[Dikutip dari buku "Mereka Adalah Para Shahabat" Dr. 'Abdurrohman Ro'fat Basya, At-Tibyan, hal.75.]

http://kisahislam.net
Selanjutnya

Tiga Tanda Orang Yang Berbahagia

0 comments



Syaikhul Islam Muhammad Bin Abdul Wahab Rahimahulloh berkata dalam kitabnya qawa'idul Arba'ah memberikan isyarat akan hal ini.... Beliau rahimahulloh berkata:

 "Saya  memohon  kepada  Allah  Yang  Maha  Pemurah,  Tuhan  Pemilik  Arsyi  Yang Agung  untuk  menjadikanmu  wali  di  dunia  dan  akhirat,  dan  memberkahimu dimana saja kamu berada. Dan  (saya memohon) Dia menjadikanmu seseorang yang ketika diberi dia bersyukur, ketika dicoba dia bersabar, dan ketika berdosa dia memohon ampun kepada Allah. Karena sesungguhnya ketiga karakteristik ini adalah tanda-tanda orang yang berbahagia.

Penjelasan oleh Dr. Muhammad Abdir-Rahman Al-Khumayyis

Pertama, bersyukur atas nikmat-Nya. Hal ini pada waktu Dia memberikannya (nikmat -pent), sebagaimana Allah berfirman: 


Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur.” (QS Saba [34] : 13) 

Dan Allah berfirman: 

Dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu;” (QS Az-Zumar [39] : 7) 

Dan Allah berfirman: 

 “dan  bersyukurlah  kepada-Ku,  dan  janganlah  kamu  mengingkari  (nikmat)-Ku.” (QS Al-Baqarah [2] : 152) 

Mensyukuri   nikmat-nikmat   Allah   ditunjukkan   melalui   hati   dengan   cara menetapkan, mengakui dan menunjukkan rasa syukur. Dan hal ini ditunjukkan melalui  lisan  dengan  berbicara  mengenai  nikmat  itu  dan  memujinya.  Dan ditunjukkan oleh anggota badan dengan berbuat sesuai dengan apa yang Allah ridhai. 

Kedua,  bersabar  atas  musibah kesulitan  dan  hal-hal  yang  dibenci,  yang merupakan  ujian  dan  cobaan  dari  Allah  kepada  seseorang.  

Yang  wajib  dalam keadaan  seperti  ini  adalah  seseorang  memiliki  kesabaran.  Kesabaran  berarti menahan hati agar tidak menjadi benci dan berputus asa, menahan lisan agar tidak berkeluh kesah, dan menahan anggota badan dari berbuat sesuatu yang mengingkari dan menyelisihi kesabaran. 

Allah berfirman:  

dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.” (QS Luqman [31] : 17) 

Dan firman-Nya: 

Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,” (QS Al-Baqarah : 155) 


Ketiga,  memohon  ampun  setelah  melakukan  perbuatan  dosa.  

Hal  ini  karena semua  anak  keturunan  Adam  adalah  pendosa.  Namun  apa  yang  wajib  bagi mereka  adalah,  setiap  kali  mereka  jatuh  ke  dalam  perbuatan  dosa,  mereka segera memohon ampun dan bertaubat, sebagaimana Allah berfirman: 

Dan (juga)  orang-orang  yang  apabila  mengerjakan  perbuatan  keji  atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?  Dan  mereka  tidak  meneruskan  perbuatan  kejinya  itu,  sedang  mereka mengetahui.” (QS Al-Imran [3] : 135) 

Inilah ketiga karakteristik tersebut. Bersyukur kepada Allah, bersabar terhadap cobaan, dan memohon ampun setelah melakukan perbuatan dosa. 

Barangsiapa yang memenuhi ketiganya niscaya akan menjadi bagian dari mereka yang berbahagia. Bahkan, kebahagiaan lebih banyak dihubungkan kepada ketiga hal   ini   daripada   yang   lainnya.   Semuanya   mengandung   makna   Tauhid, kepasrahan, ketaatan, dan penerimaan dari Allah. 

Sumber: Ebook Syarah Qawa'idul Arba'ah (http://raudhatulmuhibbin.blogspot.com)

Selanjutnya

KUPAS TUNTAS SENAM PERNAPASAN TENAGA DALAM

0 comments

Sudah terlalu banyak praktisi tenaga dalam yang ketika diruqyah ternyata ada khodam jin dalam diri mereka sebagai akibat dari mereka melatih senam pernapasan tenaga dalam. Pada pembahasan kali ini saya akan membahas tuntas hakikat tenaga dalam berdasarkan pengalaman saya selama dahulu mempelajarinya dan tinjauan syar’i dari sisi syari’at untuk membongkar habis penyimpangan dan kesesatan tenaga dalam. Berikut ini pembahasannya

Pembahasan
Ada berbagai macam teori yang dibuat agar tenaga dalam dapat diterima pada berbagai lapisan masyarakat. Selama saya dahulu mendalami senam pernapasan tenaga dalam ada dua konsep teori yang melingkupi tenaga dalam. Pertama para praktisi tenaga dalam mencoba menghalalkan senam pernapasan tenaga dalam dengan mengilmiahkan konsep tenaga dalam, hal ini dilakukan agar bisa membujuk masyarakat yang cukup terpelajar agar mau ikut perguruan mereka. Kedua  dengan cara mengkultuskan tenaga dalam yang dikaitkan dengan alam ghoib, hal ini dilakukan agar masyarakat yang masih suka dengan hal-hal yang berbau klenik dan bernuansa supranatural. Penjabarannya adalah sebagai berikut:

a.    Mengilmiahkan Tenaga Dalam.
Pertama : Tenaga dalam berasal dari Impuls listrik dihasilkan oleh ATP (adenosine triphosphate) sebagai senyawa yang menyimpan energi tubuh, yang terjadi akibat pembakaran oksigen dalam tubuh. Dalam sel, energi digunakan untuk mensintesis molekul baru, kontraksi otot, konduksi saraf, menghasilkan radiasi energi yang menghasilkan pancaran sinar.Medan listrik dapat diperbesar hingga menghasilkan energi listrik tubuh (bioelektris) bila elektron bergerak lebih cepat secara teratur.Energi atau tenaga dalam inilah yang diolah dan dikembangkan para ahli olah prana untuk menyembuhkan penyakit. "Segala yang ada di alam semesta merupakan manifestasi energi, seperti gravitasi, dan gelombang magnet, serta energi matahari,"

Kedua : Tenaga dalam adalah tenaga dari energi biolistrik tubuh yang diolah dengan senam pernapasan tenaga dalam hingga voltase biolistrik tubuh meningkat lebih besar dari normal.Setiap listrik akan menghasilkan medan listrik yang cukup besar begitu juga dengan biolistrik tubuh akan menghasilkan medan listrik yang besar jika distimulir dengan menyedot napas dan terus ditahan di dada atau perut maka medan biolistrik akan membesar.

Dari kedua teori yang hampir sama konsepnya ini dalam penggunaan tenaga dalam dikatakan orang yang beremosi tinggi maka voltase biolisrtiknya akan naik dan berarti medan biolistriknya memancar lebih besar dari biasa. Sesuai dengan hukum alam,listrik yang bermuatan sejenis akan saling tolak-menolak.Begitu juga dengan biolistrik manusia, bila dikontakkan akan saling tolak-menolak,maka dengan niat dan konsentrasi kita bisa mementalkan orang yang emosi tersebut dengan medan biolistrik kita yang lebih besar dari orang tersebut karena sudah kita latih.


b.    Mengkultuskan Tenaga Dalam Sebagai Ilmu Karomah Keghoiban.
Biasanya pengkultusan tenaga dalam sebagai ilmu karomah keghoiban ditujukan bagi orang-orang yang memiliki keyakinan yang kuat dengan hal-hal yang bersifat keghoiban dan ditujukan bagi masyarakat yang mempercayai klenik. Seperti jika dia beragama Islam dikatakan tenaga dalam berasal dari karomah kekuatan ayat, tenaga dalam berasal dari penyerapan energi wali songo, tenaga dalam berasal dari kekuatan khodam. Jika beragama lain seperti Hindu, Budha atau Taoisme, tenaga dalam berasal dari energi dewa atau Budha, tenaga dalam berasal dari kekuatan puja mantra pada dewa-dewi, tenaga dalam berasal dari energi prana, chi , ki yang dihisap dan dikumpulkan ke tantien atau cakra solar pleksus, tenaga dalam berasal dari cosmik negatif cakra dasar dan cosmik positif cakra mahkota, tenaga dalam berasal dari energi kundalini.

Tetapi terkadang perguruan tenaga dalam menggunakan dua macam pendekatan sekaligus untuk dapat menarik minat seluruh anggota masyarakat dari berbagai macam tingkat strata kehidupan atau pun dari berbagai macam religi dan kepercayaan agar dapat masuk menjadi anggota perguruan.   

Selanjutnya perguruan senam pernapasan tenaga dalam terbagi dua aliran pertama yang bernafaskan keagamaan yang bersifat ekslusif hanya agama dan kepercayaan tertentu yang dapat menjadi anggotanya dan yang berbasis senam dan olah nafas saja tanpa ada unsur ekslusifisme agama didalamnya hingga semua agama masuk menjadi anggota perguruan.Penjabarannya adalah :

Pertama : Perguruan senam pernapasan tenaga dalam yang berbasis agama biasanya menggunakan kewajiban ritual keagamaan sebelum dan pada saat latihan tenaga dalam.Contohnya Jika perguruan tenaga dalam berbasis agama Islam mewajibkan anggotanya menggunakan bacaan amalan, wirid, puasa selama memperdalam tenaga dalam. Jika perguruan tenaga dalam berbasis agama Hindu, Budha atau Taoisme maka menggunakan puja mantra pada dewa-dewi atau Budha,membakar hio dan lain sebagainya.

Kedua :  Perguruan tenaga dalam yang membolehkan semua lapisan  anggota masyarakat untuk ikut masuk menjadi anggota perguruan, yang dalam pelaksanaan latihannya boleh menggabungkan dengan ritual agama yang diyakininya.

Ada macam-macam orientasi atau tujuan Perguruan tenaga dalam mengajarkan senam pernapasan tenaga dalam yang akan saya jelaskan sebagai berikut:
1.      Berorientasi penyebaran ajaran agama atau kepercayaan tertentu.
2.      Mengajarkan anggotanya tekhnik-tekhnik tenaga dalam untuk perlindungan diri, untuk kesehatan tubuh baik secara fisik, psikis ataupun  spiritual.
3.      Mempererat tali persaudaraan.
4.      Bertujuan bisnis semata hingga terkadang merugikan anggotanya dengan dibebani persyaratan yang memberatkan dari segi finansial dan lain sebagainya.
Ada pertanyaan yang mesti dijawab mengenai tenaga dalam yang sering ditanyakan halayak ramai.Apakah tenaga dalam itu benar-benar ada?Apakah tenaga dalam itu murni olah tubuh atau ada unsur makhluk halus didalamnya?Apakah tenaga dalam itu bisa membuat kita sehat baik secara fisik adan psikis?Apakah tenaga dalam membuat kita bisa semakin tinggi tingkat spiritualitas kita?Sesuaikah senam pernapasan tenaga dalam itu dengan syari’at Islam?
Berikut ini adalah penjelasan mengenai hakikat sebenarnya senam pernapasan tenaga dalam dengan berbagai macam aliran didalamnya :

Kita jangan tertipu dengan istilah tenaga dalam yang terkadang rancu penjabarannya.Jika ‘tenaga dalam’ dari hasil pembakaran zat-zat makanan dalam tubuh hingga menjadi energi untuk kekuatan dan kelangsungan kesehatan tubuh itu bisa kita terima karena pengistilahan ‘tenaga dalam’ itu adalah energi yang didapat dari zat-zat makanan yang kita makan tanpa ada unsur metafisika.Akan tetapi jika tenaga dalam yang bisa memantalkan orang,bisa membuat kebal,bisa,meringankan tubuh,bisa menyakiti orang lain lewat gerak dan fungsi jurus yang telah kita latih tentu berbeda sangat jauh dan janganlah disamakan dengan ‘tenaga dalam’ dari hasil “pembakaran” zat-zat makanan.

Juga tenaga dalam dari energi listrik tubuh,memang benar jika tubuh kita mempunyai impuls-impuls listrik, sebab dengan impuls-impuls listriklah syaraf-syaraf simpatetik,parasimpatetik atau syaraf neurotransmiter dapat bekerja dengan baik untuk menyampaikan pesan dari tubuh ke otak dan kebalikannya.Tetapi jika hendak diejawantahkan dengan senam pernapasan tenaga dalam bisa membesarkan energi listrik tubuh hingga bisa menjadi tenaga dalam  terlalu mengada ada dan terlalu mencari pembenaran saja.Sebab seluruh kerja sistem fisiologis dalam tubuh dengan tatanan didalamnya sudah dalam sunnatullah berada pada keseimbangan.Sistem kerja impuls listrik atau syaraf tubuh manusia tidak bisa direkayasa lagi dan sama sekali tidak ada penelitian ilmiah yang bisa membuktikan listrik tubuh bisa direkayasa untuk mementalkan seseorang kecuali hanya menduga-duga dalam mencari pembenaran saja.
Dalam setiap aliran tenaga dalam jika kita teliti mempunyai gerakan dasar yang sama dan terbagi dalam 10 jurus walaupun dalam sepuluh jurus itu bisa digabung dan dijadikan jurus baru. Jadi dapat disimpulkan senam pernapasan tenaga dalam mempunyai asal usul yang sama walaupun dalam setiap aliran tenaga dalam mengklaim sumber ajaran tenaga dalamnya berbeda-beda dan saling mengunggulkan setiap alirannya masing-masing.


OLAH RAGA,LATIHAN SN 

 (senam pernapasan tenaga dalam)


Syubhat tenaga dalam
Setelah masuk dan berlatih senam pernapasan tenaga dalam banyak yang mengatakan bahwa dengan pernapasan tenaga dalam tubuh menjadi sehat,secara psikis menjadi lebih tenang dan lebih dekat pada Tuhan. Bisa saya jelaskan bahwa sesungguhnya penyakit merupakan dampak dari adanya ketidakseimbangan tiga unsur dalam tubuh yaitu fisik, pikiran, dan jiwa. Faktor penyebabnya bisa berasal dari dalam diri sendiri atau unsur luar yang masuk kedalam tubuh. Virus dan bakteri sebagai salah satu faktor dari luar dapat mengganggu keseimbangan unsur tubuh.
Dengan berlatih senam yang menggunakan olah pernapasan tubuh kita memang menjadi sehat karena mematikan unsur negatif seperti virus dan bakteri, menetralkan zat kimia dalam tumbuh, serta membantu memperlancar suplai oksigen ke sel saraf sehingga sel dapat berfungsi semestinya. Sel syaraf yang sehat berperan penting dalam mengaktifkan organ dan sel tubuh lainnya,dengan tubuh yang sehat maka kita akan bisa berfikir dengan jernih,dengan berkumpulnya dengan anggota masyarakat lain tentunya secara psikis juga kita lebih sehat karena bisa bersosialisasi dengan baik dengan anggota masyarakat yang sama-sama ikut senam pernapasan. Tetapi kami garis bawahi bahwa semua senam pernapasan itu sangat luas pengertiannya seperti kita joging atau lari pagi , senam kesegaran jasmani, senam jantung sehat, jalan santai dengan menggerak-gerakkan tubuh lalu menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya pelan-pelan tentu menyehatkan. Akan tetapi senam pernapasan /”tenaga dalam” yang umumnya dipahami oleh sebagian besar manusia, tenaga dalam itu sebuah kekuatan ghoib (bisa mementalkan orang dari jarak jauh, bisa melihat tembus, melihat alam ghoib, melihat masa lalu dan masa depan, bisa menyakiti/mempengaruhi jiwa orang lain dari jarak jauh dll) yang muncul pada manusia apabila seseorang itu melakukan laku-laku tertentu (melatih jurus tenaga dalam dengan niat mendapatkan kekuatan ghoib) juga mantra-mantra tertentu yang bid’ah tidak ada tuntunannya dari Rasulullah. Maka kekuatan ghoib yang muncul ini adalah yang berasal dari syetan. Seandainya bentuk kekuatan ghoib tersebut bisa dipelajari, dilatih dan sebagainya tentu amat berguna untuk membela kebenaran tentunya sudah dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullah dan diajarkan kepada para shahabat. Namun sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu hajar sesuatu kemampuan ghoib bila bisa dipelajari maka ini adalah perbuatan sihir dan setan masuk sebagai sumber kekuatannya.

Adapun jika seseorang tersebut mempunyai kekuatan luar biasa pada dirinya tanpa dia sadari tanpa dia pelajari datang dari Allah Ta’ala tidak menuruti kehendaknya, tetapi karena kehandak Allah sebab karena keshalehan dia, karena banyaknya dia beribadah maka kekuatan itu disebut karomah/maunah. Intinya apabila kekuatan tenaga dalam yang bersifat metafisik (seperti bisa mementalkan orang dari jarak jauh, bisa mempengaruhi alam pikiran orang lain dengan gerak jurus tertentu, bisa menyakiti seseorang secara ghoib, menerbangkan benda-benda dll) maka itu adalah perbuatan atas bantuan syetan. Sebab kekuatan gahib tsb yang dipelajari maka itu dinamakan sihir sebagaimana yang dijelaskan Ibnu Hajar didalam Fathul Bari.

Ilmu putih sebenarnya sama dengan ilmu hitam yang ada namun dibumbui dengan ayat-ayat suci Al-Qur’an atau dengan kewajiban-kewajiban tertentu, bisa dicontohkan ilmu putih untuk kebal menggunakan shalawat nabi, katanya jika kita shalawat sekian kali maka akan kebal. Pernah juga ditanyakan pada guru orang tsb bagaimana jika orang tersebut tidak shalat, jawab guru tsb tidak apa-apa tidak shalat yang penting jangan lupa shalawatnya. Ini adalah sangat aneh, bagaimana sesorang itu memiliki ilmu kebal yang dianggap sebagai ilmu putih tetapi dia boleh tidak shalat yang penting shalawatnya tidak lupa. Maka istilah ilmu putih itu menipu dan hendaklah kita jangan tertipu. Ada beberapa perguruan kungfu yang “ga aneh2″ memakai tekhnik pernapasan murni untuk kekuatan pukulan atau ketahanan tubuh. Jika kita memukul dalam ilmu beladiri tentu menggunakan hembusan nafas ketika memukul atau menendang dengan keras dan hembusan nafas ini memakai tekhnik tertentu yang khusus juga agar nafasnya selaras dengan pukulan dan tendangan agar hasilnya baik. Untuk ketahanan tubuh menerima pukulan dan tendangan tentu kita mengeraskan bagian tubuh tertentu disertai isarah tekhnik nafas tertentu agar perut atau bagian tubuh lainnya tidak cedera.


Dalam tekhnik meringankan tubuh (dalam hal ini bukannya untuk terbang ya melainkan untuk keseimbangan tubuh) tentu memerlukan tekhnik pernapasan agar menyelaraskan tubuh hingga bisa seimbang ketika melakukan atraksi keseimbangan tubuh (berjalan diatas tali, melompati rintangan, tekhnik melentingkan tubuh dll) Bahkan tentunya Rasulullah memerlukan latihan pernapasan untuk bisa menghujamkan pedang, atau memanah atau juga bergulat sebab jika tidak punya tekhnik pernapasan khusus maka tidak akan sempurna hasilnya. Nafas tidak bisa dipisahkan dari makhluk hidup dengan bisa memanfaatkan/mengolah nafas dengan baik maka akan tercipta kesehatan dan kekuatan. namun sekali lagi bersifat fisik, adapun jika sudah wilayah Ghoib (melihat jin, melihat alam ghoib dll) maka akan masuk dalam rambu-rambu syari’ah. 

 Hukum tenaga dalam Hukum tenaga dalam, jika mengatas namakan Islam (biasanya dicampur dengan dzikir-dzikir asma Allah) maka haram. Kalau mereka menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk beribadah kepada Allah, maka kita katakan bahwa ini adalah bid’ah sebab kenapa harus menggunakan tata cara dan gerakan-gerakan khusus yang tidak pernah diajarkan oleh Allah dan Rasulullah.. Dan tidak ada dalil sama sekali bahwa dengan bacaan-bacaan dan gerakan-gerakan khusus yang mereka lakukan bisa menghasilkan kesaktian. Kalau mereka mengatakan tujuan mereka untuk beribadah dan untuk memperoleh kekuatan, maka kita katakan bahwa mereka telah melakukan kesyirikan sebab niat ibadah mereka selain untuk Allah juga untuk hal yang lain.




Selain itu praktek-praktek tenaga dalam yang ada menyelisihi syari’at diantaranya adalah:

1. Latihannya harus menggunakan emosi, padahal Rasulullah telah melarang seseorang untuk emosi karena dengan emosi syaitan bisa menguasai mereka yang sedang marah, beliau bersabda :“Janganlah engkau marah”, Rasulullah mengulanginya beberapa kali “Janganlah engkau marah”.Rahasia mereka (yang latihan tenaga dalam) harus marah sebab dengan marah tersebut syaithan bisa masuk dalam tubuh musuhnya sehingga bisa dipengaruhi jurus tenaga dalam dan bukannya karena listrik tubuh,energi yang dipancarkan dan alasan-alasan lainnya. Sebagaimana sabda Rasulullah :“Sesungguhnya syaithon mengalir dalam tubuh manusia sebagaimana aliran darah.” (Riwayat Bukhori). Hal ini diperkuat oleh pernyataan para praktisi tenaga dalam bahwa jurus akan berfungsi penuh dan sempurna jika lawan dalam keadaan emosi.Jadi bukanlah karena energi tenaga dalam musuh yang dalam keadaan emosi dapat ditaklukkan dengan fungsi jurus-jurus tertentu tetapi khodam jurus itulah yang langsung merasuk kedalam tubuh lawannya yang dalam keadaan emosi menuju otaknya hingga lawannya bisa kita permainkan dengan fungsi jurus tenaga dalam. 2. Ketika latihan, mereka sering tidak sadar, terutama ketika sedang mempraktekkan jurus mereka biasanya ada pada jurus putar,atau pada saat diharuskan emosi untuk praktek tenaga dalam.Hal ini sama saja dengan sengaja membuat diri menjadi tidak sadar (alias mabuk), dan hal ini tidak boleh dalam Islam, sebab Islam menganjurkan kita untuk senantiasa menjaga akal kita sehingga bisa senantiasa berdzikir kepada Allah. 3. Kadang disertai dengan puasa mutih (tidak boleh makan kecuali yang putih-putih),pati geni dan prosesi puasa bid’ah lainnya yang ini tidak ada syari’atnya dalam Islam. Atau untuk menjaga ilmunya dia harus menghindari pantangan-pantangan tertentu yang sebenarnya hal itu dihalalkan baginya sebelum dia memiliki ilmu tenaga dalam tersebut. Dan ini berarti mengharamkan yang dihalalkan Allah.“Janganlah engkau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. “ Saya sudah menerima sangat banyak orang-orang yang mempunyai latar belakang senam pernapasan tenaga dalam yang ingin bertobat dan membersihkan dirinya dari syaitan yang setelah di Ruqyah ternyata ada interfensi makhluk ghoib dalam perguruan tenaga dalam yang diikutinya baik yang bereaksi secara frontal ataupun reaksi secara halus . Maka tinggalkanlah senam pernapasan tenaga dalam karena dengan hanya niat untuk kesehatan kita bisa terjerumus lebih dalam berbuat kesyirikan sebab lebih besar mudharat dari pada kebaikannya.Walaupun ada perguruan tenaga dalam yang mengiklankan dirinya hanya untuk kesehatan tetapi tetap saja ada meditasi energi,penyaluran energi dan pasti ada diselingi praktek-praktek atraksi tenaga dalam. Masih banyak senam pernapasan lain seperti senam kesegaran jasmani,senam jantung, joging, lari pagi, fitnes yang jauh lebih aman dari kesyirikan jika niat kita belajar senam pernapasan hanya ingin sehat. Selain itu saya mengharapkan kejujuran dari para praktisi tenaga dalam apakah anda dalam atraksi benar-benar bisa merasakan mentalnya diri anda sewaktu uji coba tenaga dalam atau sekedar sugesti dan ‘dirasa-rasa’ saja?

Jika ada alasan kita ingin berlatih tenaga dalam untuk melindungi diri apakah anda tidak mengkaji lagi hadits-hadits Rasulullah tentang doa-doa perlindungan dari segala mara bahaya yang jelas aman dari segi akidah dibanding tenaga dalam yang dipenuhi kesyirikan. Olah nafas yang syirik Olah nafas dengan tujuan olahraga bisa menyehatkan. Misalnya pernafasan saat pemanasan, laithan nafas untuk berenang dan sebagainya. Tapi kalau kemudian olah raga ini sudah mengarah jadi pengobatan atau membuat digdaya atau dengan harapan bisa menjatuhkan orang dari jarak jauh, kepingin aneh, maka niat pelaku sudah salah. Pada saat yang sama, setan punya peluang untuk melakukan infiltrasi. Dari sisi medis, orang melakukan teknik pernafasan seperti tenaga dalam, tarikan nafasnya berat dan dalam seperti orang sedang tidur. Dalam hadist riwayat Thabrani disebutkan, saat kita tidur, biasanya terbentuk uqod (simpul setan). Simpul ini membuat kita dikuasai setan. Simpul pertama akan lepas, jika kita bangun membaca doa. Simpul berikutnya akan lepas disaat kita selesai berwudlu. Simpul berikutnya terlepas setelah kita shalat. Tenaga dalam sederhananya ilmu ngeden (mengejan). Kalau mau cari aman jauh dari subhat lebih baik olah raga biasa saja. Seperti saran rasulullah SAW, berenang, memanah dan berkuda. Dua olah raga terakhir, kini relatif mahal. Berenang atau olah raga berlari seperti sepak bola bisa menjadi pilihan. Sementara kalau kita telusuri ilmu pernafasan datanya dari Shaolin. Mereka jelas bukan uswah (role model) kita. Kalau ilmu semacam itu hebat dan diperbolehkan pasti dimasa rasulullah dipakai untuk membekali pasukan perang Badar, dan pertempuran lain. Ternyata tidak. Yakinlah ini hanya pengelabuan dari setan. Lebih baik pilih olah raga yang lebih melatih olah fisik. Kalau ingin senam pilih yang biasa saja. Olah raga ini mengambil media hawa (udara). Sementara jin (setan) hidup diantara hawa yang ada. Mereka mudah masuk, olah raga seperti oleh nafas, meditasi, yoga merupakan media sensitif dan efektif yang mereka gunakan untuk masuk kedalam tubuh manusia. Teknik bernafas dengan cara menahan dalam waktu tertentu, membuat orang mudah di Infiltrasi oleh setan. Biasanya orang yang mengidap kolestrol tinggi dan pernah terjatuh dimasa kecil sangat sensitif dirasuki jin atau setan. Setelah masuk biasanya orang tersebut punya keanehan tertentu. Diantaranya keanehan mempunyai kekuatan bioenergi. Mereka jadi mampu mengobati orang dari jarak jauh, punya energi panas dan sensitif dengan makhluk gaib. Mengajak kembali orang kejalan kebenaran bukan hal yang mudah. Ini persoalan hidayah. Kadang-kadang orang yang lama bergelut dalam dunia semacam ini sering merasa benar. Seolah olah yang mereka miliki sesuatu yang rasional. Apalagi guru-guru mereka, akan sulit jika diingatkan. Mereka akan berhitung secara ekonomi. Akan dikemanakan pengikutnya yang banyak. Mereka sering berdalih dengan alasan pengobatan dengan pembuktian kesembuhan orang sakit. Hal ini sudah menjadi persoalan aqidah, biasanya mereka yang mengikuti aktifitas dengan motivasi kesehatan akan lebih mudah meninggalkan. Tapi kalau mereka yang ingin aneh, biasanya sulit. Orang semacam ini kalau ingin keluar dari dunianya harus di ruqyah. Prosesnya agak perlahan dan lama. Selain juga harus ada motivasi dari dalam dirinya. Azam (tekad kuat) untuk meninggalkan hal-hal aneh yang selama ini dia nikmati. Selain juga di padukan dengan membiasakan diri puasa sunah, membaca surat Al Baqoroh dan doa Al Ma’tsurat pagi dan petang.

Membaca surat dalam Al Qur’an bukan menjadi masalah jika tanpa diiringi dengan motivasi ingin aneh. Misalnya membaca Al Fatihah karena ingin mempunyai keanehan, maka setan yang masuk. Tapi bukan masalah, malah berbuah pahala jika membaca Al Fatihah disaat sholat. Jadi sangat bergantung pada niatnya. Kalau ada tokoh mereka (Ilmu Pernafasan/TD/TM) yang menantang dengan sombong untuk di Ruqyah demi membuktikan kebenaran ilmunya, itu pertanda dia punya Khodam (jin Pengawal). Salah satu sifat setan adalah abaa was takbaro (sombong dan merasa besar). Pola pikir orang tersebut jelas dikuasai setan. Sedang ada kalanya saat di ruqyah jin nya tidak ada, pergi. Karena ada tipe khodam yang sifatnya hanya mengikut. Tidak perlu mauk kedalam tubuh seseorang. Dan khodam sangat bergantung kepada pemiliknya, semakin pintar dia, khodam nya pun akan setara. Jadi kalau posisi dia Guru ilmu tenaga dalam, bisa dipastikan khodamnya juga pintar. Bisa jadi sangat jenius.
Wallahua’lam........
Selanjutnya

SURURIYAH (edisi lengkap) oleh: Asy-Syaikh Muqbil Al Wadi'i -Rahimahullah-

0 comments


بسم الله الرحمن الرحيم

Kapan seseorang (boleh) dicap misalnya dengan (lebel) sururi atau turatsi?

Tanya-jawab bersama: Asy-Syaikh Muqbil Al Wadi’i –Rahimahullah

Tanya-jawab ini berlangsung di masjid Darul Hadits Dammaj pada tanggal 31 Mei 1999 Masehi

Tanya: Kapan seseorang (boleh) dicap misalnya dengan (lebel) sururi atau turatsi, kemudian apabila seseorang dicap dengan lebel demikian, apakah lebel ini berarti bahwa orang itu mubtadi’?

Jawab: Seseorang dicap dengan lebel sururi apabila ia mengetahui pendapat-pendapat Muhammad Zainul Abidin, ya (seorang) pimpinan sururiyah. Maka apabila seseorang mengetahui perkataan-perkataannya dan mengambilnya (sebagai ajaran) dan menyerang ulama, ya mereka mengatakan ulama tidak memahami waqi’ (realita). Dan bersemangat seperti semangat dia dan para pengikutnya pada perkara “meminta bantuan kepada Amerika” –semoga Allah menghancurkan mereka- . Mereka mengatakan; tidak boleh meminta bantuan kepada Amerika. Padahal penduduk Kuwait dan Saudi Arabia pada waktu itu mereka terdesak. Dan mereka –segala puji bagi Allah- benci kepada Amerika. Karena Amerika ingin mengambil kekayaan (alam) mereka. Wallahulmusta’an.

Maka orang yang mengerti pernyataan-pernyataan Muhammad Surur dan mengambilnya (sebagai ajaran), digolongkan sebagai sururi. Dan keburukan orang ini telah menyebar ke banyak negeri-negeri Islam. Dan yang menjadi sebab dalam hal ini adalah dunia. Sebab lainnya juga adalah (?tidak jelas). Para pemuda ya ikhwan, mereka memiliki semangat yang kelewat batas, oleh karena itu apabila ada orang yang mengajak mereka untuk menjelek-jelekkan pemerintah (mereka sambut –pentj). Yang benar adalah bahwa pemerintah yang telah mencelakakan dirinya sendiri.

Dan barangsiapa mengajak orang untuk mencelanya
Mencelanya benar atau pun salah

Pemerintah menjadi (?tidak jelas) dibelakang musuh-musuh Islam. Akan tetapi wahai ikhwan, bukan solusinya dengan revolusi dan kudeta. Solusi dengan taklim, mengajarkan manusia akan agama Allah. Yang penting, dakwah sururiyah dakwah kejahilan. Kenapa? Kami telah bilang kepada mereka pada waktu itu juga, ketika Muhammad Surur datang menziarahi kami. Kami katakan: kenapa kalian tidak membuat ma’had di Inggris? Lalu kamu mengajari mereka Al Kitab dan As-Sunnah? Akan tetapi tidak ada pada mereka selain majalah. Dan mereka memperalat jiwa-jiwa yang lemah dengan harta. Akan tetapi apa? Ketika ada orang yang mengikuti mereka, (orang-orang itu pun) ditangkap. Seperti Abdul Majid Ar-Raimi, dahulu dia seorang yang berilmu dalam bahasa Arab, dalam ilmu aqidah dan juga ilmu hadits. Al Baidhani juga demikian, ya. Al Hasyidi begitu juga. Kita tidak menyadari wahai ikhwan, orang yang bergabung dengan mereka kecuali ditangkap. Manhaj mereka mirip dengan manhaj Ikhwanul Muslimin. Dan saya nasikatkan setiap ikhwan fillah untuk menjauh dari mereka dan dari hizbiyah-hizbiyah seluruhnya. Dan untuk beramal karena Allah ((Hanya milik Allahlah agama yang murni)), ((Dan tidaklah mereka diperintahkan selain untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan untuk-Nya agama ini)), ((Katakanlah (wahai Muhammad): Upah apapun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu))
--------

Ya ikhwan, wajib bagi kamu mendakwahi manusia dan kamu menginginkan kebaikan untuk mereka, bukan untuk kamu mengambil harta-harta mereka. Setelah usai ceramah digelar kain di pintu itu, di pintu itu, di pintu itu, di pintu itu, (lalu seseorang teriak –pentj) ((Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya)). Muzammil: 20.((Aku dan penyantun anak yatim seperti ini)).Sungguh kalian telah memperburuk (wajah) dakwah! Kalian membuat orang lari dari dakwah!

Ya, (cukup) kalian mendakwahi manusia. Rabb yang Maha Mulia berfirman di dalam kitab-Nya yang mulia tentang nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ((...dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu. Jika Dia meminta harta kepadamu lalu mendesak kamu (supaya memberikan semuanya) niscaya kamu akan kikir dan Dia akan menampakkan kedengkianmu)) Muhammad: 36-37.

Adapun manhaj Ihyaut Turats, sesungguhnya orang-orang yang berada dibelakangnya (pengelola) yaitu seperti Abdurrahman Abdul Khaliq dan Abdullah Sabt dan beberapa bisnisman yang bodoh. Ya, orang-orang yang berada dibelakangnya ingin membuka ma’had-ma’had di Indonesia dan ma’had-ma’had di Afrika dan ma’had-ma’had di Yaman. Kenapa tidak kalian buka ma’had-ma’hadi di Kuwait? Kenapa kalian tidak membuka ma’had-ma’had di Kuwait? Dakwah kalian telah berlangsung 40 tahun, kalian memang jempolan. Kecuali orang-orang yang belajar di universitas-universitas Saudi Arabia seperti Badr Al Badr. Kalian memang jempolan.

Ya, mereka menjauhkan (ummat) dari ulama. Dan Asy-Syaikh Rabi semoga Allah membalas kebaikannya telah membantah Abdurrahman Abdul Khaliq (di dalam bukunya) Jama’atun Wahidah Laa Jamaa’aat wa Shiraatun Waahid Laa ‘Asyaraat. Tulisan yang bagus.

Yang penting, andaikata yang mereka inginkan dari kegiatan ini adalah wajah Allah, berapa banyak harta yang telah mereka sumbangkan?! Akan tetapi, hizbiyah wahai ikhwan, syaithan tidak membiarkan mereka berbuat karena Allah, (sebaliknya –pentj) menjadikan mereka berbuat untuk hizbiyah. Ya, karena ini Allah tidak memberkahi kegiatan mereka. Dan karena ini, ya mereka ingin memecah belah jamaah-jamaah (muslimin –pentj) –semoga Allah tidak membalas mereka dengan kebaikan-, maka Allah timpakan bala’ kepada mereka dengan memecah belah jamaah mereka menjadi 4 kelompok. Ya, balasan sesuai dengan perbuatan. Siapakah yang telah menjadikan mereka terpecahbelah? Dia adalah Allah, Dia membela dakwah-dakwah yang mengajak kepada Al Kitab dan As-Sunnah, ya, Allah membela mereka, sehingga orang-orang itu pun (Ihyaut Turats –pentj) jadi berpecah belah. Wallahulmusta’an.
--------
Maka orang yang mengira bahwa Abdurrahman Abdul Khaliq seorang salafy maka ia lalai. Dan orang yang mengira bahwa Abdullah Sabt seorang salafy maka ia lalai. Ya, orang ini memiliki pengetahuan tentang Ikhwanul Muslimin, (yang saya maksud –pentj) Abdullah Sabt. Dan ia juga membenci sururiyah. Akan tetapi apa wahai ikhwan? Apakah kamu telah meninggalkan Majlis Al Ummah? Majlis Al Ummah, mereka menamakannya dengan Majlis Ummah, ya ikhwan. Yaitu seperti yang ada di kita (dengan sebutan –pentj) Majlis An-Nuwwab (Perwakilan Rakyat –pentj). (Majlis-majlis ini –pentj) adalah thaghuty,,,thaghuty,,,(diatas asas thaghut –pentj). Majlis An-Nuwwab adalah thaghuty. Apakah kamu telah meninggalkannya? MasyaAllah!
Kamu disebut sebagai salafy, sedangkan kamu turut serta di dalam demokrasi? Tidak, tidak ada kemulian bagimu.

Dan Yayasan Ihya’ At-Turats mengumpulkan kitab-kitab, kemudian setelahnya jadilah satu per satu. Dialah yang mengelola urusan ini, yaitu orang yang dipanggil dengan sebutan Muhammad Hasyim Asy-Syaibany. Orang ini yang mengurusi urusan buku-buku ini. Wallahul Musta’an.

Yang penting wahai ikhwan, pujilah Allah wahai Ahlussunnah dan menjauhlah dari kepura-puraan ini dan bersabarlah diatas kefaqiran. Semoga ini adalah kebaikan, ya, semoga ini adalah kebaikan. Andaikan dibukakan untuk kita dunia bisa jadi tanpa disadari kita sudah di kantor polisi.

Kenapa dia? Ini mobil, mobil dakwah dan si fulan ingin memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya. Ya, (contoh lain –pentj) kenapa kamu wahai fulan? Datang dari Kuwait dan mengirim Riyal Yamani lalu dia menguasainya dan tidak memberikannya kepada kita. Di kantor polisi atau keamanan atau (?tidak jelas) dengan air liurnya. Dan bisa jadi –wallahu a’lam- Allah Maha mengetahui kebaikan-kebaikan hamba-hamba-Nya.

Bisa jadi jika Allah bentangkan untuk kita dunia kita menjadi seperti Muhammad Abdul Jamil dan Abdul Qadir Asy-Syaibani seperti dua ekor anjing berebut bangkai, saling tarik menarik.

Jangan sampai wahai ikhwan. Selamat datang kefakiran, selamat datang beriringan dengan dakwah.

Sungguh dahulu ketika saya di Ib, saya berjalan dan (kawan-kawan –pentj) bilang: Ini wahai Abu Abdurrahman gedungnya Yayasan Al Hikmah. Saya bilang: gampang, mereka punya gedung kami punya pembela-pembela sunnah. Kami Alhamdulillah tidak perduli dengan perkara ini. Allahulmusta’an.
Yang penting, Allah telah memilih untuk nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bukan kekayaan. Dan nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata: ((Kekayaan bukan dari banyaknya harta, kekayaan adalah kekayaan jiwa)) dan beliau berkata ((Andaikan seorang anak Adam memiliki dua lembah berisi emas, dia akan mencari lembah yang ketiga)).

Dan sesungguhnya aku memuji Allah, bahwa tidak lagi tersisa pada Ikhwanul Muflisin dan tidak tersisa pada pengikut yayasan-yayasan itu selain berdusta atasnama Ahlussunnah. ((Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung)). An-Nahl: 116

Kabar gembira wahai ikhwan, bahwa mereka tidak beruntung!

Aku diceritakan bahwa ada seorang perwira dahulu menyelidiki penuntut ilmu dan dia menuntut ilmu disini. Dia bilang: kalian mutasyaddid (berlebih-lebihan -pentj). Mutasyaddid gimana? Apa yang telah kami haramkan? Ia bilang: Abu Abdurrahman (Asy-Syaikh Muqbil –pentj) mengajari kalian, dia punya pelajaran yang mengharamkan makan dengan sendok dan garpu. Ya, wahai ikhwan, kebohongan dan kedustaan apa lagi ini. Ya, tamu-tamu (yang datang –pentj) mengatakan: mana sendok? Kami beri mereka sendok untuk makan dengannya. Adapun kami, kami suka makan dengan tangan-tangan kami dan sesekali apabila menunya fatta (makanan berkuah –pentj) kami ambil sendok dan makan dengannya.

Yang penting wahai ikhwan, tidak tersisa pada mereka selain kedustaan. Alhamdulillah sunnah menyebar dan ini adalah karunia Allah Ta’aala. Silahkan (lanjutkan pertanyaannya –pentj).
----------
Tanya: tersisa pertanyaan, yaitu: apabila seseorang dicap dengan lebel sururi atau turatsi, apakah berarti orang ini mubtadi’?

Jawab: Menjadi mubtadi’? Terkadang seseorang dituduh bahwa ia sururi padahal bukan sururi, atau ia dituduh turatsi padahal bukan turatsi.
Adapun sururiyah orang-orang Yayasan Ihya’ At-Turats, kami meyakini mereka berada diatas bid’ah berbahaya. Orang-orang yang turut serta dalam Majlis An-Nuwwab (perwakilan rakyat –pentj), kondisi mereka lebih buruk daripada seseorang yang menghidupkan maulid-maulid saja.Allahulmusta’an.
Dan wajib berhati-hati wahai ikhwan, hati-hatilah kalian –semoga Allah menjaga kalian- dari melemparkan tuduhan kepada saudara kalian dengan tuduhan hizbi padahal dia bukan hizbi. Atau menuduhnya dengan suatu tuduhan yang dia berlepas diri darinya. Takutlah kepada Allah Ta’aala. Perkara seperti ini, wajib bagi yang menuduh mendatangkan bukti dan yang mengingkari bersumpah.

Kalian dapati saudara kalian diatas, atau seseorang bertemu temannya dan (?tidak jelas) dari mereka dan mengucapkan: Assalamualaikum! Lalu dijawab: kamu sururi atau ikhwani!

Jangan (seperti ini –pentj). Beri kabar gembira dan jangan membuat orang lari, permudah dan jangan mempersulit. Dan juga, ada ikhwan kita yang baik dan memiliki keutamaan –semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan- kita harus berhati-hati dari menuduh mereka dengan tuduhan-tuduhan seperti ini.

Tanya: Begini, misalkan seseorang memiliki pemikiran sururiyah, akan tetapi dengan pemikirannya ini tidak mengeluarkannya dari lingkup salafiyah?

Jawab: Seperti apa? Berikan contoh.

Tanya: Kami tidak ingat sekarang, bolehkah kita cap dia dengan lebel sururi?

Jawab: Apa seperti membolehkan pemilu?

Tanya: Yang seperti ini tentu telah keluar.

Jawab: Apa seperti menganggap para ulama adalah ulama pemerintah?

Tanya: Ya, seperti itu.

Jawab: Seperti ini? Tidak. Mencela ulama, barakallahu fik, bahwa mencela ulama adalah diantara perkara terbesar yang membahayakan kaum muslimin dan (perbuatan –pentj) yang menjauhkan mereka dari agama. Menjauhkan mereka dari ulama mereka (menjauhkan mereka dari agama –pentj).

Maka tidak benar kita katakan tentang seorang alim yang menganggap bahwa revolusi dan kudeta bukan solusi kepada kebaikan, tidak boleh dan tidak sepantasnya kita katakan bahwa dia ulama pemerintah. Dan juga seperti masalah meminta bantuan kepada Amerika dan yang semisalnya.

Seperti inikah?

Terjadi perbedaan sudut pandang. Dan saya meyakini bahwa orang yang mengatakan tidak boleh meminta bantuan kepada Amerika keliru. Bagaimana mereka keluar dinegeri mereka sedangkan negeri mereka telah dijajah oleh Saddam. Dan kelompok partai Ba’ts (?tidak jelas) dari Al Haram Al Makki dan Al Haram Al Madani.

Bahkan lebih buruk dari ini, seseorang bercerita kepada saya dahulu dia di Kuwait, pada masa-masa itu. Saya katakana kepada dia: Apa tidak ada yang mampu mencegah Saddam? Dia bilang: Bagaimana kamu katakan ini wahai Abu Abdurrahman (Asy-Syaikh Muqbil –pentj), mereka meminta orang-orang berbaris setelah shalat Jum’at lalu mereka menembaki orang-orang dengan peluru-peluru. Tidak seorang pun mampu (?tidak jelas)

Maka mereka memiliki hak untuk minta bantuan kepada Amerika yang datang untuk menolong dari upaya Saddam Ba’tsi yang ingin menjajah negeri mereka.
Lihatlah wahai ikhwan, bagaimana Saddam mematikan agama di Irak, membunuhi ulama. Ya, disana ada rumah-rumah untuk berzina, rumah-rumah untuk minum minuman keras. Minuman keras tersedia di toko-toko pinggir jalan. Yang benar wahai ikhwan, Saddam adalah anak yang berbakti kepada Amerika.

sumber: facebook ustadz jafar shalih
Selanjutnya